Karena Cemburu
Setiap hari
ada saja perhatianku padanya. Tidak adakah sesuatu yang membuatku merasa ada
yang perlu dikerjakan selain memikirkannya?
Aku yang cepat mengambil keputusan terlalu gegabah dan membuatmu kecewa..Dua hari lalu, seseorang mengetuk pintu dan mengatakan ‘ini maksudnya apa? this is ending?’ dan dia terhenyak saat aku membalik badan dan menutup pintu kembali.
Bulan menyaksikan itu, kemudian hening sampai hari ini..
Aku yang cepat mengambil keputusan terlalu gegabah dan membuatmu kecewa..Dua hari lalu, seseorang mengetuk pintu dan mengatakan ‘ini maksudnya apa? this is ending?’ dan dia terhenyak saat aku membalik badan dan menutup pintu kembali.
Bulan menyaksikan itu, kemudian hening sampai hari ini..
Selalu aku
dengar berita bahagia darinya, mulai rumor tentang dia menjalani kasih dengan
gadis yang cantik sampai bahagia dan hampir dijodohkan dengan gadis manis yang
orang tuanya menjadi pengusaha sukses.
Aku tidak masalah dengan hal itu sampai aku menemukan sesuatu yang lain saat dia jalan 10 langkah di depanku dengan menggandeng tangan seseorang seakan tak mau lepas.
Saat ini aku menyesal dan ingin kembali di hari itu. Aku tak mau kalau di hari kemudian aku tak bisa melihatnya dan tak pantas merindukannya..
Aku tidak masalah dengan hal itu sampai aku menemukan sesuatu yang lain saat dia jalan 10 langkah di depanku dengan menggandeng tangan seseorang seakan tak mau lepas.
Saat ini aku menyesal dan ingin kembali di hari itu. Aku tak mau kalau di hari kemudian aku tak bisa melihatnya dan tak pantas merindukannya..
Tangan indah
itu menggandeng lengannya yang terlihat cocok dari sini. Temanku, Windi, sudah
mengingatkanku sejak tadi untuk berhenti mengikutinya, tapi entah kenapa aku
terus mengikuti kemana arah wanita itu menggandeng tangannya dan berharap dia
melepaskannya segera. Dua menit setelah aku sadar tak mungkin terlepas, aku
berjalan berlawanan arah dan kembali pulang diantar Windi.Pagi ini aku
terlambat, mataku benar-benar ingin tertutup, kantukku tak terbendung setelah
semalam tak bisa aku pejamkan mata ini untuk beristirahat sejenak. Windi, aku
sempat melihat wajahnya khawatir saat aku terbangun dari tidurku di ruang
kesehatan dan pandanganku terlihat bingung.
“Kamu tadi lari-lari, terus bilang pengen tidur, untung pak Wahyu gak masuk, aku anter kesini deh.” Katanya.
Aku tersenyum, tapi dia masih khawatir, aku tau dia mengkhawatirkan aku dari kejadian semalam.
“Kamu tadi lari-lari, terus bilang pengen tidur, untung pak Wahyu gak masuk, aku anter kesini deh.” Katanya.
Aku tersenyum, tapi dia masih khawatir, aku tau dia mengkhawatirkan aku dari kejadian semalam.
Di kantin
pada jam istirahat ini aku akhirnya dapat kesadaran juga setelah tidur hampir 3
jam di ruangan serba putih tadi. Dari tempatku duduk, kira-kira empat bangku
dari sini, aku lihat laki-laki yang mengetuk pintu rumahku waktu itu sedang
bersama teman-temannya dengan canda tawa mereka seperti biasa. Masih ada tanya,
‘mudahnya aku dilupakan?’ hah.. aku memang yang bersalah. Aku sendiri yang
bersikap seolah-olah itu akhir.
Tapi, senyummu dari sini saja sudah membuat aku sadar kenapa wanita-wanita itu selalu ingin dekat dengan laki-laki seperti kamu…Laki-laki di kantin tadi, laki-laki yang dengan senyumnya membuat wanita ingin dekat itu berdiri dan bersandar pada pintu mobilnya. Seragam putih abunya membuatnya terlihat lebih berwarna bukan hanya dari senyumnya, ‘Dida!’ sapa temannya yang langsung melambaikan tangan tanda ia akan pulang mendahului Dida yang dibalas Dida dengan senyum dan lagi-lagi aku berpikir ingin memiliki senyum itu lagi.
Dida menundukkan wajah sesekali dan melirik ke arah pintu masuk sekolah, seakan menunggu seseorang keluar dari situ, dan benar saja ada yang menghampirinya. Kulihat senyumnya yang manis mengikuti kedatangan wanta itu, tapi sedikit tersirat kecewa.
Sayangnya aku melihat ekspresinya ini hanya dari kejauhan, tepatnya dari arah luar gerbang sekolah…
Tapi, senyummu dari sini saja sudah membuat aku sadar kenapa wanita-wanita itu selalu ingin dekat dengan laki-laki seperti kamu…Laki-laki di kantin tadi, laki-laki yang dengan senyumnya membuat wanita ingin dekat itu berdiri dan bersandar pada pintu mobilnya. Seragam putih abunya membuatnya terlihat lebih berwarna bukan hanya dari senyumnya, ‘Dida!’ sapa temannya yang langsung melambaikan tangan tanda ia akan pulang mendahului Dida yang dibalas Dida dengan senyum dan lagi-lagi aku berpikir ingin memiliki senyum itu lagi.
Dida menundukkan wajah sesekali dan melirik ke arah pintu masuk sekolah, seakan menunggu seseorang keluar dari situ, dan benar saja ada yang menghampirinya. Kulihat senyumnya yang manis mengikuti kedatangan wanta itu, tapi sedikit tersirat kecewa.
Sayangnya aku melihat ekspresinya ini hanya dari kejauhan, tepatnya dari arah luar gerbang sekolah…
Esoknya
masih seperti kemarin, aku masih ingin melihat Dida, sosok yang selalu senyum
dihadapanku, membuatku bahagia tapi aku mengecewakannya karena suatu hal
bernama ‘cemburu’. Selama aku bersama Dida, aku benar-benar merasa apa itu arti
bahagia, apa itu arti bersama, tapi tidak aku bawa rasa terima atas itu karena
kesan yang terlihat di mataku itu semua bukan atas dasar sayangnya. Aku yakin
itu setelah melihat dia selalu tersenyum juga di hadapan wanita lain.Mobil yang
akan menjemputku tiba sekitar 40 menit lagi, hah.. sudah bosan aku
menantikannya. Sudah lima menit aku menunggu, ’35 menit lagi’ pikirku.
Saat-saat menunggu ini terusik saat aku sadar ada yang memperhatikanku dari
jauh, mata itu tak lepas memandangiku sejak tadi, seperti menunggu, tapi aku
tak menghiraukannya karena malu dan tau itu Dida.
Melihatku dari jauh mungkin tak memuaskannya, akhirnya ia mulai bergerak mendekatiku. Aku benar-benar terusik, tak nyaman dan ingin sekali bergerak menjauh, tapi perasaan mencegah dan aku diam.
“Mau pulang sama aku?” sapanya, lagi-lagi dengan senyum.
“Iya” jawabku singkat.
Dida sedikit menunduk, mungkin ia sadar saat ini aku tak nyaman lagi berada di dekatnya. Saat ini rasanya mungkin seperti cermin yang kupandangi setiap sore yang ada bayangan senja di alam sebrang yang dia tampilkan itu, berambang, tidak jelas dimana tapi itu bukan disini.
Melihatku dari jauh mungkin tak memuaskannya, akhirnya ia mulai bergerak mendekatiku. Aku benar-benar terusik, tak nyaman dan ingin sekali bergerak menjauh, tapi perasaan mencegah dan aku diam.
“Mau pulang sama aku?” sapanya, lagi-lagi dengan senyum.
“Iya” jawabku singkat.
Dida sedikit menunduk, mungkin ia sadar saat ini aku tak nyaman lagi berada di dekatnya. Saat ini rasanya mungkin seperti cermin yang kupandangi setiap sore yang ada bayangan senja di alam sebrang yang dia tampilkan itu, berambang, tidak jelas dimana tapi itu bukan disini.
Sudah
sepuluh menit sejak aku menjawab ‘iya, kami tidak mengatakan satu katapun
sampai akhirnya Dida membuka pembicaraan dengan bertanya,
“Masih mau nunggu? atau pulang bareng aku?” kali ini ekspresinya datar.
“Nunggu” jawabku yang masih memikirkan ego.
Kaget aku saat Dida tiba-tiba menggenggam tanganku dan membawaku yang terpaksa mengikuti langkahnya.
Di halaman belakang sekolah, dia menghentikan langkahnya, dia sedikit menundukan wajah lagi, mungkin malu atau ragu atau juga sedang memikirkan awal pembicaraan yang baik denganku. Aku yang melihat wajahnya yang menunduk dengan ekspresi wajahnya yang seperti itu, tak mau lagi menahan untuk tak bicara ‘kenapa’. Dida kembali menemukan nada bicara dan percaya dirinya untuk bicara.
“Setiap hari aku harus khawatir sama kamu, tapi aku baru tau kenapa, dan aku disini mau minta maaf, selain maaf belum ada yang bisa aku bilang lagi”
“Memang aku juga yang berlebihan”
“Jadi?”
“Aku juga minta maaf”
Ekspresi wajah Dida berubah bahagia setelah mendengar kalimat terakhir yang aku katakan.
Seketika aku berpikir, Dida tidak pernah ingin aku jauh dariku.
Tapi Dida tidak lagi menampakkan wajah khawatirnya walaupun aku pergi mulai berjalan meninggalkannya. Mungkin itu berarti dia yakin aku juga masih merasakan hal yang sama dengannya.
“Masih mau nunggu? atau pulang bareng aku?” kali ini ekspresinya datar.
“Nunggu” jawabku yang masih memikirkan ego.
Kaget aku saat Dida tiba-tiba menggenggam tanganku dan membawaku yang terpaksa mengikuti langkahnya.
Di halaman belakang sekolah, dia menghentikan langkahnya, dia sedikit menundukan wajah lagi, mungkin malu atau ragu atau juga sedang memikirkan awal pembicaraan yang baik denganku. Aku yang melihat wajahnya yang menunduk dengan ekspresi wajahnya yang seperti itu, tak mau lagi menahan untuk tak bicara ‘kenapa’. Dida kembali menemukan nada bicara dan percaya dirinya untuk bicara.
“Setiap hari aku harus khawatir sama kamu, tapi aku baru tau kenapa, dan aku disini mau minta maaf, selain maaf belum ada yang bisa aku bilang lagi”
“Memang aku juga yang berlebihan”
“Jadi?”
“Aku juga minta maaf”
Ekspresi wajah Dida berubah bahagia setelah mendengar kalimat terakhir yang aku katakan.
Seketika aku berpikir, Dida tidak pernah ingin aku jauh dariku.
Tapi Dida tidak lagi menampakkan wajah khawatirnya walaupun aku pergi mulai berjalan meninggalkannya. Mungkin itu berarti dia yakin aku juga masih merasakan hal yang sama dengannya.
Istirahat
hari ini terasa sangat ringan dari kemarin, aku benar-benar merasa ini
istirahat yang paling istimewa walaupun aku sadar hanya beberapa menit saja
luang waktu untuk sejenak bersantai ini.
Dari sini aku melihat Dida dengan ekspresi bahagianya setelah memasukkan bola ke ring. Dida tidak lagi tersenyum dengan sedikit corak wajah tak bahagia, aku yakin setelah ini Dida akan kembali pada ekspresinya saat dia bersamaku.
Tapi aku lupa, wanita yang pernah digandengnya, siapa?
Sampai Windi mengingatkan aku tentang itu dilorong sekolah saat kami berjalan menuju pulang.
Aku menghela nafas dan mengingatnya lagi…
Hah, aku tidak percaya, bahagiaku terusik lagi.
Baru beberapa menit lalu aku mendengar Windi mengingatkanku akan hal itu, aku lihat Dida tersenyum di depan wanita yang waktu itu kulihat sedang menggandeng tangannya.
Hari ini aku tersadar lagi dan pergi menjauh tanpa berani menatap Dida lagi.
Dari sini aku melihat Dida dengan ekspresi bahagianya setelah memasukkan bola ke ring. Dida tidak lagi tersenyum dengan sedikit corak wajah tak bahagia, aku yakin setelah ini Dida akan kembali pada ekspresinya saat dia bersamaku.
Tapi aku lupa, wanita yang pernah digandengnya, siapa?
Sampai Windi mengingatkan aku tentang itu dilorong sekolah saat kami berjalan menuju pulang.
Aku menghela nafas dan mengingatnya lagi…
Hah, aku tidak percaya, bahagiaku terusik lagi.
Baru beberapa menit lalu aku mendengar Windi mengingatkanku akan hal itu, aku lihat Dida tersenyum di depan wanita yang waktu itu kulihat sedang menggandeng tangannya.
Hari ini aku tersadar lagi dan pergi menjauh tanpa berani menatap Dida lagi.
Setelah hari
yang membuatku bungkam lagi itu, tidak pernah ada lagi kontak mata ataupun
komunikasi antara Dida dan aku. Tapi ekspresinya tidak lagi seperti gundah.
Wajahnya kali ini tetap bahagia seperti setelah mendengar aku meminta maaf
padanya, seolah tidak ada lagi yang perlu dicemaskannya dan aku baik-baik saja.
Aku berpikir lagi, ini bukan berarti dia bahagia karena aku memaafkanya atau karena aku meminta maaf padanya, tapi ini karena ada sesuatu yang lebih membahagiakan dari itu.
Aku takut, takut sekali, takutku belum terbayar bahkan sekalipun aku mendengar aku lulus dari ujian nasional.
Aku berpikir lagi, ini bukan berarti dia bahagia karena aku memaafkanya atau karena aku meminta maaf padanya, tapi ini karena ada sesuatu yang lebih membahagiakan dari itu.
Aku takut, takut sekali, takutku belum terbayar bahkan sekalipun aku mendengar aku lulus dari ujian nasional.
Hari ini,
sudah dua bulan setelah hari-hari yang mengambang itu. Sudah kuduga Dida memang
tidak lagi mau aku menjadi khawatirnya. Semua khawatirnya tentangku,
membatasinya untuk bebas. Aku sadari itu setelah aku tak lagi melihatnya sampai
hari ini.
Aku tak tau dimana dia, apa kabarnya saat ini, apa yang sedang dia lakukan, bahkan Windi yang selalu mudah mendapat info pun masih belum tau dimana Dida.
Tapi aku yakin Dida bahagia, karena terakhir kali aku melihatnya begitu.
Aku tak tau dimana dia, apa kabarnya saat ini, apa yang sedang dia lakukan, bahkan Windi yang selalu mudah mendapat info pun masih belum tau dimana Dida.
Tapi aku yakin Dida bahagia, karena terakhir kali aku melihatnya begitu.
Dida tidak
lagi di sampingku, Dida tidak tahu ada dimana, tapi aku masih ditemani
bayang-bayangnya. Malam ini aku ada janji dengan Windi setelah dia mengirim
pesan singkat yang isinya membuatku penasaran untuk datang ke tempat kami biasa
bersantai, cafe dekat taman kota ini.
Dalam perjalananku ke cafe itu, aku melihat wanita yang digandengnya waktu itu yang sampai saat ini membuatku cemburu. Wanita yang dengan wajah menunggu, bersandar di kursi taman kota.
Sejenak aku berpikir, wanita itu ada disini, Dida pasti disini juga. Sedang berpikir seperti itu, Dida datang dan menghampirinya. Seperti sebelumnya Dida tersenyum duduk di dekatnya dengan kemudian memasang wajah sedih dan menenangkan wanita di sampingnya.
Aku tau ada masalah yang membuat Dida memasang wajah itu. Aku memang selalu tak berpikir panjang, malah semakin ingin mendekat dan mengetahui isi pembicaraan mereka, tapi kemdian aku diingatakn Windi lagi dengan pesan singkatnya yang membuat handphone ku bergetar.
Kembali aku menuju cafe di dekat taman kota ini.
Dalam perjalananku ke cafe itu, aku melihat wanita yang digandengnya waktu itu yang sampai saat ini membuatku cemburu. Wanita yang dengan wajah menunggu, bersandar di kursi taman kota.
Sejenak aku berpikir, wanita itu ada disini, Dida pasti disini juga. Sedang berpikir seperti itu, Dida datang dan menghampirinya. Seperti sebelumnya Dida tersenyum duduk di dekatnya dengan kemudian memasang wajah sedih dan menenangkan wanita di sampingnya.
Aku tau ada masalah yang membuat Dida memasang wajah itu. Aku memang selalu tak berpikir panjang, malah semakin ingin mendekat dan mengetahui isi pembicaraan mereka, tapi kemdian aku diingatakn Windi lagi dengan pesan singkatnya yang membuat handphone ku bergetar.
Kembali aku menuju cafe di dekat taman kota ini.
Aku
benar-benar malu, aku gugup, kali ini aku diluar kendali, aku ingin menangis,
Windi kemudian menenangkanku setelah sebelumnya ia mengatakan,
“Dida itu punya sepupu dan wanita yang sama Dida itu pacar sepupunya”
Aku menyesal dengan ucapanku dikala rintik hujan membasahi Aku dan Dida di tengah lapangan basket hari itu, aku tau aku kalah dengan emosi yang terbungkus cemburu sampai Dida seperti mematung setelah aku melepas satu tangannya yang memegang pundakku yang kemudian berucap “Dida, kita putus” setelah itu dengan mata berkaca aku meninggalkan Dida.
“Dida itu punya sepupu dan wanita yang sama Dida itu pacar sepupunya”
Aku menyesal dengan ucapanku dikala rintik hujan membasahi Aku dan Dida di tengah lapangan basket hari itu, aku tau aku kalah dengan emosi yang terbungkus cemburu sampai Dida seperti mematung setelah aku melepas satu tangannya yang memegang pundakku yang kemudian berucap “Dida, kita putus” setelah itu dengan mata berkaca aku meninggalkan Dida.
Dida, aku
menyesal, aku ingin hari itu kembali, hari dimana rintik hujan itu
beramai-ramai menghentikan aku tuk berucap hal yang menghentikan kebersamaan
kita. Sekarang aku yang berekspresi mematung menggantikan Dida di hari itu.
Tapi aku yakin penyesalan ini tidak akan mengembalikan senyummu seperti saat
maafku terucap atau bahkan seperti saat kita bersama.
Haha, sudah sampai dimana kita? Jika ini sandiwara, sudah sampai di episode berapakah?
Yang jelas, aku berpikir, sepertinya ini episode terakhir dari kepastian hubunganku dengan Dida.
Haha, sudah sampai dimana kita? Jika ini sandiwara, sudah sampai di episode berapakah?
Yang jelas, aku berpikir, sepertinya ini episode terakhir dari kepastian hubunganku dengan Dida.
Aku di
fakultas seni, dan Dida di Fakultas Kedokteran. Aku baru tahu itu setelah dua
bulan kami ada di Universitas yang sama.
Masih saja ada yang menggangguku, tentang apa kabarnya senyum Dida itu?
Apakah sudah dimiliki wanita lain?
Masih saja ada yang menggangguku, tentang apa kabarnya senyum Dida itu?
Apakah sudah dimiliki wanita lain?
Hari ini aku
di rumah, ditinggal mama dan papa yang terbang ke Bali untuk bisnis dan
berlibur.
Dua hari ini aku tidak mengisi waktu dengan kuliahku sampai Windi pun lelah mengingatkanku untuk berhati-hati dengan kehadiranku karena kuis minggu depan.
Dua hari ini aku tidak mengisi waktu dengan kuliahku sampai Windi pun lelah mengingatkanku untuk berhati-hati dengan kehadiranku karena kuis minggu depan.
Acara
televisi hari ini tidak ada yang menghibur, bahkan lawakan yang dulu hanya
dengan melihat pemerannya saja sudah membuatku tertawa tidak lagi ada daya
tariknya. Mataku hanya tertarik melihat acara televisi yang kupindah-pindah
sampai teralihkan aku sejenak karena pintu rumah yang diketuk dengan cukup
keras. Kakak memang selalu seperti itu kalau pintu rumah terkunci.
“Hai” sapa orang dibalik pintu saat aku membukakan pintu untuknya.
Kupikir kakaku yang setiap malam baru pulang berolahraga untuk membuat badannya berotot itu kala mama bertanya kenapa malam-malam, tapi ini sosok lain.
“Dida?” tanyaku heran yang kusembunyikan perasaan bahagia di kedalaman hati.
“Apa kabar?” tanyanya yang masih selalu didampingi dengan senyumnya.
“Kenapa kesini?”
“Haha, gak bisa tahan kangen lagi”
Entah apa yang ada di pikirannya, yang jelas aku tau, dia sedang berusaha menjelaskan perasaannya padaku melalu kata-kata yang dengan hati-hati dipasangkannya untuk menjadi kalimat yang baik kudengar sehingga aku tak menutup pintu lagi seperti malam itu.
“Aku boleh masuk?”
“Disini aja”
Aku takut jika aku dan Dida berpindah dari tempat saat kami memulai bicara, akan canggung untuk memulai pembicaraan lagi, terlebih lagi itu di dalam rumahku, di ruang tamu yang pastinya aku harus duduk didekatnya berhadapan atau di sampingnya.
Dida meyakinkan aku dengan senyumnya kemudian memegang tanganku, menarikku ke dalam dan duduk.
“Ganti baju, aku tunggu!” perintahnya dan aku turuti.
Aku masih mengutamakan egoisku, tak mau Dida berpikir aku berpenampilan baik hanya untuk membahagiakannya. Sepuluh menit dia menunggu. Aku menghadiahinya penampilan sederhanaku saja, tidak sesederhana dipandangannya karena wajahnya kemudian tersenyum menyambut aku hadir kembali di hadapannya tanpa mengenakan pakaian santai untuk di rumah lagi.
“Hai” sapa orang dibalik pintu saat aku membukakan pintu untuknya.
Kupikir kakaku yang setiap malam baru pulang berolahraga untuk membuat badannya berotot itu kala mama bertanya kenapa malam-malam, tapi ini sosok lain.
“Dida?” tanyaku heran yang kusembunyikan perasaan bahagia di kedalaman hati.
“Apa kabar?” tanyanya yang masih selalu didampingi dengan senyumnya.
“Kenapa kesini?”
“Haha, gak bisa tahan kangen lagi”
Entah apa yang ada di pikirannya, yang jelas aku tau, dia sedang berusaha menjelaskan perasaannya padaku melalu kata-kata yang dengan hati-hati dipasangkannya untuk menjadi kalimat yang baik kudengar sehingga aku tak menutup pintu lagi seperti malam itu.
“Aku boleh masuk?”
“Disini aja”
Aku takut jika aku dan Dida berpindah dari tempat saat kami memulai bicara, akan canggung untuk memulai pembicaraan lagi, terlebih lagi itu di dalam rumahku, di ruang tamu yang pastinya aku harus duduk didekatnya berhadapan atau di sampingnya.
Dida meyakinkan aku dengan senyumnya kemudian memegang tanganku, menarikku ke dalam dan duduk.
“Ganti baju, aku tunggu!” perintahnya dan aku turuti.
Aku masih mengutamakan egoisku, tak mau Dida berpikir aku berpenampilan baik hanya untuk membahagiakannya. Sepuluh menit dia menunggu. Aku menghadiahinya penampilan sederhanaku saja, tidak sesederhana dipandangannya karena wajahnya kemudian tersenyum menyambut aku hadir kembali di hadapannya tanpa mengenakan pakaian santai untuk di rumah lagi.
Aku
digandengnya, jari-jariku digenggam erat jari tangannya, membuatku yakin ini
Dida yang masih sayang aku.
Aku digandengnya sampai di halaman dekat rumah. Di halaman ini dulu dia pernah memintaku menjadi seseorang dengan sebutan ‘kekasih’ untuknya, “Aku gak punya bahasa yang lebih manis, tapi God never know that i love you, ah sorry, God ever know that i love you” katanya dulu.
Kujawab “yes, I never know, but in the end I ever know and I love you too”
Dan Dida mengulangi hari itu dengan kata yang lebih manis.
“Sorry, sebenernya malu, tapi, haha.. I LOVE YOU again”
Aku tak bisa menjawabnya kali ini, ucapannya terlalu manis, aku hanya tersenyum, membuka jalan kemabali menuju kebersamaan dengan Dida, dan aku yakinkan, aku tak mau lagi melepasnya hanya karena cemburu…
Aku digandengnya sampai di halaman dekat rumah. Di halaman ini dulu dia pernah memintaku menjadi seseorang dengan sebutan ‘kekasih’ untuknya, “Aku gak punya bahasa yang lebih manis, tapi God never know that i love you, ah sorry, God ever know that i love you” katanya dulu.
Kujawab “yes, I never know, but in the end I ever know and I love you too”
Dan Dida mengulangi hari itu dengan kata yang lebih manis.
“Sorry, sebenernya malu, tapi, haha.. I LOVE YOU again”
Aku tak bisa menjawabnya kali ini, ucapannya terlalu manis, aku hanya tersenyum, membuka jalan kemabali menuju kebersamaan dengan Dida, dan aku yakinkan, aku tak mau lagi melepasnya hanya karena cemburu…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar