Kemampuan
turun-temurun yang diwariskan nenek moyang gue, bisa dibilang sangat bermanfaat
untuk orang banyak. Pasalnya, sudah hampir ratusan orang merasakan goyangan
tangan gue di seluruh tubuh mereka. Goyangan yang membuat otot yang semula
menegang, menjadi lemes. Alias ga kaku lagi. Yah, gue sih bersyukur banget
punya keahlian di bidang urut mengurut. Karena, selain mengurut ini adalah
profesi, gue juga bisa memanfaatkannya untuk menolong orang banyak.
Misalnya,
kejadian dua bulan lalu. Saat gue sedang keliling kampung bersama dua asisten
gue, yaitu Idham dan Miftah. Kami menemukan seseorang yang sedang terjepit di
antara reruntuhan kasur. Gue juga ga ngerti kenapa kasur itu bisa menimpa badan
tuh orang. Sempat terpikir di benak gue, kalau orang itu sedang main petak
umpet. Tapi, ngapain ngumpet di bawah kasur. Emangnya kasur rela buat main
petak umpet? Lagian, fungsi kasur itu buat tidur, bukan buat main petak umpet.
Ga berperikekasuran banget sih!
Melihat
orang yang sedang kesulitan, kami pun refleks menolongnya. Sebelum menolong,
Kami atur formasi terlebih dahulu. Hal ini memang biasa kami lakukan sebelum
beroperasi. Formasinya tuh, kami baris berbanjar, lancang kanan, kemudian gue
nungging ke belakang sambil goyang itik. Idham yang ada di samping kanan gue
pun ga kalah menarik. Dia bergoyang kepala ala Trio Macan. Setelah pusing,
minyak gosok yang dibuat dari ingus cicak, ia keluarkan dari kantongnya untuk
digosokan di kepala. Sementara Miftah, di sebelah kiri gue; mengeluarkan korek
dan rokok dari kantungnya. Korek untuk mengeruk jigong di giginya. Sedangkan
rokok, berfungsi untuk menyumpal hidungnya yang mampet.
Gimana?
Keren kan formasinya?
“Mif, lo ke
sudut kiri. Idham ke kanan. Gue ke tengah.” Perintah gue lugas.
“Ngapain, bos?” Tanya Idham.
“Main karet!. Bego lo! Yah, angkat kasurnya.”
“Tau lu, Dham! Bos jadi marah tuh. Kita angkat kasurnya buat tidur di kontrakan. Iya kan, bos?” Ucap dan tanya Miftah dengan polos.
“Keplek!” Tangan gue mendarat di kepala Miftah
“Aduh, bos sakit.” Miftah mengeluh kesakitan.
“Hahaha, sukurin lu! Berarti mendingan gue. Biar kata bos marah, tapi ga sampe geplak kepala gue.”
”Ahhh, diem lu. Banyak bacot.” Tangan gue mendarat di kepala Idham.
“Aduh… Bos, kok gue kena juga.”
“Udah-udah… Bisa naik darah turun tai kalau gue terus-terusan punya anak buah kayak lu berdua. Pokonya lu angkat tuh kasur. Cepetan!” Amarah gue meledak karena kelakuan dua bocah yang lahirnya dienter pake komputer, keluarnya dari CPU.
“Ngapain, bos?” Tanya Idham.
“Main karet!. Bego lo! Yah, angkat kasurnya.”
“Tau lu, Dham! Bos jadi marah tuh. Kita angkat kasurnya buat tidur di kontrakan. Iya kan, bos?” Ucap dan tanya Miftah dengan polos.
“Keplek!” Tangan gue mendarat di kepala Miftah
“Aduh, bos sakit.” Miftah mengeluh kesakitan.
“Hahaha, sukurin lu! Berarti mendingan gue. Biar kata bos marah, tapi ga sampe geplak kepala gue.”
”Ahhh, diem lu. Banyak bacot.” Tangan gue mendarat di kepala Idham.
“Aduh… Bos, kok gue kena juga.”
“Udah-udah… Bisa naik darah turun tai kalau gue terus-terusan punya anak buah kayak lu berdua. Pokonya lu angkat tuh kasur. Cepetan!” Amarah gue meledak karena kelakuan dua bocah yang lahirnya dienter pake komputer, keluarnya dari CPU.
Pertolongan
pertama yang kami lakukan setelah mengangkat kasur dari diri orang tersebut
adalah mengecek nadinya. Apakah masih berdenyut atau tidak. Setelah dipastikan
korban masih hidup, kami langsung mengoleskan minyak angin cap kodok galau
dibagian hidung guna menyadarkannya dari pingsan.
“Sadar, bos.
Sadar…” Miftah berucap senang
“Iye, gua juga tau.” Ujar gue
“Tolong…! tolong…” Orang itu berteriak menjerit dengan wajah setengah takut.
“Tenang… tenang bu, kita orang baik… baaaa…” Ucapan gue terpotong karena rongrongan Ibu tersebut yang semakin menjadi.
“Tolong…! saya mau diperk*sa… tolong…!
“Iye, gua juga tau.” Ujar gue
“Tolong…! tolong…” Orang itu berteriak menjerit dengan wajah setengah takut.
“Tenang… tenang bu, kita orang baik… baaaa…” Ucapan gue terpotong karena rongrongan Ibu tersebut yang semakin menjadi.
“Tolong…! saya mau diperk*sa… tolong…!
Sial… Mimpi
apa gue semalam? Niat baik nolongin, malah dikira mau memperk*sa. Hadoh…
lagian, tuh ibu kaga tau diri banget sih. Mana doyan gue sama dia. Badanya aja
kayak bis malem. Mukanya udah kadaluarsa. Selain itu, yang paling bikin gue ga
nahan adalah bibirnya. Bibir sama spakbor motor ga beda jauh. Haha… untung ga
ketuker.
Teriakan ibu
ga tau diri itu semakin keras. Sehingga mengundang warga sekitar datang untuk
menghakimi kami. Melihat kondisi yang sangat darurat seperti ini, mau tak mau
kami harus mengeluarkan jurus, “Tauran”. Yah, sebenarnya jurus ini ga pernah
digunakan, lantaran kami tahu betapa bahayanya apabila seseorang terkena
bumerang dari jurus ini.
Filosofi
yang terkandung dalam jurus, “Tauran” adalah “Tau” dan “Ran”. Tau berarti
mengetahui. Sementara, Ran diambil dari bahasa Inggris yang artinya lari. Jadi,
Tauran yang kami maksud adalah apabila mengetahui ada masa yang ingin
menghakimi, lebih baik kita, “Lari…!” alias kabur. Haha
Itulah
seuntai pengalaman yang kami rasakan sebagai tukang urut kampung gono-gini.
—
Hari ini,
kami mendapatkan pesanan tugas mengurut salah satu pasien di kampung seberang.
Seperti biasa, kami berangkat menggunakan si jagur motor revo biru yang udah
hampir 1 tahun ga gue cuci. Gue sengaja ga mencuci si jagur, soalnya menurut
mendiang kakek gue, kalau seandainya jagur dicuci, maka kemampuan mengurut yang
gue miliki akan hilang. Dan kalau sudah hilang, gue harus betapa di gunung
berapi selama setahun. Ga boleh makan dan ga boleh minum. Waduh, ngeri juga yaa
ancemannya. Itulah mengapa si jagur ga pernah gue cuci hampir setahun. Jadi, ga
heran kalau motor gue ini udah kayak motornya tukang bawang. Haha
Perjalanan
setengah jam kami tempuh. Motor yang ditigalin, memang ga akan pernah bisa
bohong. Padahal gue udah ngegas full lho.Tapi, tetap aja fakta berbicara lain.
Kalau si jagur emang udah angkat tangan menampung tiga tukang urut yang
badannya mirip kuproy yang ga berperikemotoran.
“Udah sampe
nih…” Gumam gue sembari turun dari motor.
“Bener ga nih, bos alamatnya?” Tanya Idham…
“Ya, benerlah. Mana mungkin salah…”
“Udah bos, kita langsung masuk aja.” Ujar Miftah.
“Ya udah, lo panggil dah!”
“Assalammu’alaikum… assalammu’alaikum.” Salam Miftah.
“Wa’alaikumussalam.”
“Bener ga nih, bos alamatnya?” Tanya Idham…
“Ya, benerlah. Mana mungkin salah…”
“Udah bos, kita langsung masuk aja.” Ujar Miftah.
“Ya udah, lo panggil dah!”
“Assalammu’alaikum… assalammu’alaikum.” Salam Miftah.
“Wa’alaikumussalam.”
Wow… Luar
biasa bukan kepalang. Yang keluar cewek cantik, bro. Gue perhatiin dari ujung
rambut sampe ujung kaki, kaga ada cacatnya sama sekali. Waduh, kalau yang ini
minta urut sama agen gue, ga usah dibayar; gue rela dah.
“Permisi,
mba. Kami dari agen Pijet Sabeni…”
“Oh, iya iya silahkan masuk. Bang, kalau pijet bagian sini bisa, kan?”. Sembari memegang pundaknya yang tak tertutup sehelai benang pun. Karena tuh cewek pas keluar pake baju yang kaga ada tangannya.
“Oh, bisa mba… bisa banget.” kami menjawab serentak, seolah merasa senang.
“Kalau bagian yang ini, bang?” Sambil menunjuk ke arah pahanya yang mulus.
“Wah… apalagi yang itu, mba. Bisa banget.” Jawab Idham.
“Iye, mba. Pokoknya kita mah tukang pijet multi talent. Bagian apa aja bisa kita kerjain.” Serobot gue menambahkan…
“Oh gitu yaa… Ya udah, tunggu sebentar ya, bang!”
“Kita main pijet-pijetan dimana, mba?” Tanya Miftah.
“Di sini aja…” sambil menunjuk teras rumah dan ia beranjak ke dalam.
“Oke siap, mba.” Idham langsung gelar tiker yang dibawanya di depan teras.
“Eh, tapi apa ga malu ngurut cewek di teras rumah kayak gini? Kan banyak orang yang lewat, bro”. Miftah bertanya sembari melihat situasi.
“Ahh bodo amat! Yang penting hepi. Hahaha, asik. Pasien kita kali ini cantik bin demplon.” Idham kesenangan.
“Hm.. ya udah… Bos, kita berdua aja ya yang ngurut?” Pinta Miftah memelas.
“Aelah… Giliran yang begini aja, pada rebutan lu. Lagian emang lo udah lulus belajar ngurut sama gue? Hah? Belum, kan?” Gue menodong pertanyaan.
“Belum sih, bos. Tapi, kan kita udah 25 tahun jadi asisten bos. Masa kita ga pernah kebagian ngurut…” Protes Idham ke gue.
“Woy… umur lu aja baru 20 tahun!”
“Oh iya, bos lupa… haha”.
“Ya udah, kali ini gue ijinin lu berdua buat ngurut.”
“Hahaha, makasih, bos…” Mereka berujar serentak.
“Iye… Dasar mata keranjang lu!”
“Oh, iya iya silahkan masuk. Bang, kalau pijet bagian sini bisa, kan?”. Sembari memegang pundaknya yang tak tertutup sehelai benang pun. Karena tuh cewek pas keluar pake baju yang kaga ada tangannya.
“Oh, bisa mba… bisa banget.” kami menjawab serentak, seolah merasa senang.
“Kalau bagian yang ini, bang?” Sambil menunjuk ke arah pahanya yang mulus.
“Wah… apalagi yang itu, mba. Bisa banget.” Jawab Idham.
“Iye, mba. Pokoknya kita mah tukang pijet multi talent. Bagian apa aja bisa kita kerjain.” Serobot gue menambahkan…
“Oh gitu yaa… Ya udah, tunggu sebentar ya, bang!”
“Kita main pijet-pijetan dimana, mba?” Tanya Miftah.
“Di sini aja…” sambil menunjuk teras rumah dan ia beranjak ke dalam.
“Oke siap, mba.” Idham langsung gelar tiker yang dibawanya di depan teras.
“Eh, tapi apa ga malu ngurut cewek di teras rumah kayak gini? Kan banyak orang yang lewat, bro”. Miftah bertanya sembari melihat situasi.
“Ahh bodo amat! Yang penting hepi. Hahaha, asik. Pasien kita kali ini cantik bin demplon.” Idham kesenangan.
“Hm.. ya udah… Bos, kita berdua aja ya yang ngurut?” Pinta Miftah memelas.
“Aelah… Giliran yang begini aja, pada rebutan lu. Lagian emang lo udah lulus belajar ngurut sama gue? Hah? Belum, kan?” Gue menodong pertanyaan.
“Belum sih, bos. Tapi, kan kita udah 25 tahun jadi asisten bos. Masa kita ga pernah kebagian ngurut…” Protes Idham ke gue.
“Woy… umur lu aja baru 20 tahun!”
“Oh iya, bos lupa… haha”.
“Ya udah, kali ini gue ijinin lu berdua buat ngurut.”
“Hahaha, makasih, bos…” Mereka berujar serentak.
“Iye… Dasar mata keranjang lu!”
Beberapa
saat kemudian, cewek cantik tersebut keluar dengan membawa seorang kakek tua
lagi kerempeng.
“Bang,
tolong pijitin kakek saya, ya. Kasian dia baru dateng dari kampung.”
Wajah mereka
melongo kaget. Dahi mengerut, perasaan heran pun menyertai. Perlahan, bibir
mereka terbuka seolah ragu berucap.
“bbbb-booss…
kita ga jadi ngurut deh. Kepala kita mendadak pusing.”
“Hahaha… Makan tuh, kakek-kakek lumutan. Sono lu urut!” Tawa gue terbahak-bahak
“Yaelah, bos. Kita kan ga bisa ngurut.”
“Bodo amat, lu urus sendiri tuh kakek-kakek. Gue mau pulang dulu.” Gue langsung menuju motor dan pergi meninggalkan mereka.
“Hahaha… Makan tuh, kakek-kakek lumutan. Sono lu urut!” Tawa gue terbahak-bahak
“Yaelah, bos. Kita kan ga bisa ngurut.”
“Bodo amat, lu urus sendiri tuh kakek-kakek. Gue mau pulang dulu.” Gue langsung menuju motor dan pergi meninggalkan mereka.
Sementara,
mereka tetap mengurut kakek tua tersebut tanpa bayaran. Hahaha pelajaran yang
dapat diambil dari kejadian ini adalah, tukang urut kudu profesional. Siapa pun
pasiennya, tetap harus dilayani dengan pelayanan prima. Emang enak lo ngurut
kakek tua kaga dibayar pula. Sukurin..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar