Selasa, 03 Desember 2013

Ayah Maafkan Aku...


Ayah Maafkan Aku
   Namaku Fitria, panggil saja dengan panggilan Fitri… Kini aku duduk di bangku Sekolah menengah pertama, tepatnya aku kelas VII. Sejak kecil aku buta, aku mempunyai seorang ayah yang bernama Herman, ayahku selalu menyayangiku. Ibuku meninggal dunia saat melahirkanku. Ayahku bekerja sebagai tukang urut keliling.Suatu hari aku bertaya kepada ayahku, “Ayah… kapan ya fitria bisa melihat indahnya dunia, bisa melihat warna seperti teman-teman fitria yang lain, kan selama ini yang fitria lihat cuman hitam dan gelap.”
Ayahpun menjawab “Sabar ya sayang, sebentar lagi kamu akan melihat indahnya dunia.”
Tersenyumlah aku mendengar ucapan ayah.
  Waktu terus berjalan, haripun terus berganti, tak ku sangka-sangka akhirnya aku bisa melihat indahnya dunia, sejak itu pula aku berani jatuh cinta. Ada seorang lelaki kaya raya dia mendekatiku, meski usianya jauh lebih tua dariku, tak menutup kemungkinan ku bukakan hatiku untuk dia. aku mengenalnya ketika aku dan teman-temanku saat makan bersama. setiap hari lelaki tersebut menelfonku.Pada suatu malam Hp berbunyi, dengan bergegas aku mengangkatnya, ternyata dari lelaki itu, sebut aja namanya Adli, ku terima panggilan masuknya, lalu kita ngobrol panjang. Ku nikmati setiap obrolan yang terjadi antara aku dan Adli, di depan teras dengan bersandar tiang yang tua, aku merasakan kenyamanan saat menerima telfon darinya.
Tiba-tiba ku dengar seorang yang berjalan di belakangku dan memanggilku,
“Fitri… ayah haus nak, tolong ambilkan ayah minum”
Aku pun tak menghiraukannya dan ku lanjutkan telfonku dengan Adli.
Lalu ayah pun berkata “Fitria sayang, kalau nggak mau nggak apa-apa, ayah berangkat kerja dulu,” ujar ayahku dan lngsung pergi dengan tongkat kayu tuanya yang digunakan sebagai petunjuk jalan.
   Hingga larut malam aku pun terus mengobrol dengan Adli melalu Handphone genggamku. Tak kusangka rasa kantuk pun menyerangku hingga ku terlelap dalam tidurku dan berselimut rasa dingin di teras rumahku. tiba-taba kudengar ada yang mmemanggilku “Fitri… Ayah pulang sayang, Ketiduran ya nungguin ayah…?”
Kemudian akupun bangun dengan rasa kantuk yang menderaku dengan bisu aku berlari menuju kamar tanpa ku mendengar sapaan ayah.Waktu terus berjalan, hingga akhirnya aku menikah dan mempunyai sebuah keluarga kecil bersama Adli dan dikaruniai dua anak laki-laki. Kehidupanku yang dulu sudah ku tinggalkan, kini aku hidup di sebuah perumahan mewah bersama suami dan anak-anakku.
   Suatu hari anak-anakku bertanya padaku, panggil saja mereka dengan panggilan Arya dan Putra.
“Mah… Apa Arya dan Putra memiliki seorang nenek dan kakek dari mamah..?” tanya anakku dengan kepolosannya.
“Punya sayang… tapi sudah meninggal sebelum kalian lahir” jawabku dengan muka pucat.
Tiba-tiba ku dengar bel pintu rumah pun berbunyi, segera anak-anakku membuka pintu, tak lama kemudian ku dengar mereka berteriak, bergegas aku menemui anakku dan bertanya “Ada apa sayang?”
“Mama ada pengemis bermuka serem, itu mah lihat mah… Arya takut”
Dengan kaget aku melihat ayahku berdiri di depan pintu rumahku, bersandar dengan tongkat nya, akupun menyuruh anak-anakku untuk masuk ke dalam rumah, lalu kupersilahkan ayahku duduk di teras rumahku.
“Ngapain Ayah kesini… Fitri kemarin sudah kirim banyak uang buat ayah,
Ayah tau nggak apa yang terjadi jika ayah muncul disini? Anak-anakku pada takut ayah, dan fitri malu dilihat banyak tetangga kalau Fitri punya ayah yang cacat.”
Ujarku kepada ayah, tanpa berkata apa-apa ayah pun langsung pergi.
      Suatu hari kami sekeluarga akan berlibur di suatu tempat, dalam perjalanan anak-anakku dan suamiku merasa senang dan begitu pula denganku, dalam perjalanan kita saling bersahut-sahutan dalam bersenandung. tiba-tiba terdengar suara hentakan, ternyata mobil kami menabrak sesuatu, tanpa kami suruh anak-anakku turun dari mobil dan melihat apa yang mobil kami tabrak, selang waktu beberapa menit anak-anakku masuk kembali ke dalam mobil dan brkata “papa… mobil kita menabrak seorang pengemis… mungkin dia meninggal papa, Arya takut…”
Suwamiku pun menjawab “Biar papa lihat dulu ya sayang…”
“nggak papa kami takut papah, ayo papah kita pergi dari sini” rengek putraku dengan muka pucat di dalam pelukanku…
Tanpa berfikir panjang suamiku pergi dari Tkp, selang beberapa jam kami sampai rumah, suamiku bertanya padaku “mah… apa nggak sebaknya kita kembaali lagi, untuk bertanggung jawab atas apa yang kita tabrak tadi?” tanpa berfikir panjang akupun meninggalkan suwamiku dengan muka yang tidak penuh dengan kecemasan.
    Beberapa bulan kemudian, saya memutuskan untuk menjenguk ayah saya di desa, setibanya saya disana ku ketuk pintu rumahku… rumah masa kecilku yang lapuk dan penuh dengan debu, lama ku ketuk tak ada satupun sahutan terdengar dari dalam rumah, hanya seorang perempuan setengah baya menemuiku.
“mbak Fitria… mbak cari bapak ya…” Tanya wanita itu padaku, dan akupun menjawabnya “iya… ayah kemana ya bu… dari tadi saya ketuk pintu nggak keluar-keluar?”
“bapak sudah meninggal mbak beberapa bulan yang lalu, ketabrak mobil pas bapak jalan kaki sepulang dari kota, pada waktu itu saya bertanya pada bapak, kalau bapak ke kota mau menemui cucu-cucunya, bapak membeli banyak mainan mbak dari uang pijat urutnya, hampir bapak 2 hari nggak pulang rumah karena mencari uang tambahan buat beli mainan cucu-cucunya” cerita ibu itu padaku, dengan rasa kaget dan menyesal aku bersandar pada pintu tua yang lapuk dengan deraian air mata yang tak kunjung henti, ternyata yang kami tabrak kemarin ayahku sendiri, kakek dari anak-anakku, bahkan anak-anakku belum pernah sekalipun bertemu dengan kakek mereka, namun ayah sudah pergi, dengan penyesalan yang tiada henti aku tersipu dan kupandangi l langit-langit teras rumahku, disinilah dulu aku dibesarkan ayahku, disinilah saksi bahwa mata yang ku punya ini adalah mata ayahku, tak pernah sedikitpun aku membalasnya, ternyata aku malah membunuhnya, sungguh durhaka aku ini, apa kelak anak-anakku akan seperti aku? mendurhakaiku?
Dalam hati hanya ada penyesalan besar, gengsiku… membuatku lupa diri, lupa pada orang tuaku, ayah maafkan aku…

Karena Cemburu


Karena Cemburu
Setiap hari ada saja perhatianku padanya. Tidak adakah sesuatu yang membuatku merasa ada yang perlu dikerjakan selain memikirkannya?
Aku yang cepat mengambil keputusan terlalu gegabah dan membuatmu kecewa..Dua hari lalu, seseorang mengetuk pintu dan mengatakan ‘ini maksudnya apa? this is ending?’ dan dia terhenyak saat aku membalik badan dan menutup pintu kembali.
Bulan menyaksikan itu, kemudian hening sampai hari ini..
Selalu aku dengar berita bahagia darinya, mulai rumor tentang dia menjalani kasih dengan gadis yang cantik sampai bahagia dan hampir dijodohkan dengan gadis manis yang orang tuanya menjadi pengusaha sukses.
Aku tidak masalah dengan hal itu sampai aku menemukan sesuatu yang lain saat dia jalan 10 langkah di depanku dengan menggandeng tangan seseorang seakan tak mau lepas.
Saat ini aku menyesal dan ingin kembali di hari itu. Aku tak mau kalau di hari kemudian aku tak bisa melihatnya dan tak pantas merindukannya..
Tangan indah itu menggandeng lengannya yang terlihat cocok dari sini. Temanku, Windi, sudah mengingatkanku sejak tadi untuk berhenti mengikutinya, tapi entah kenapa aku terus mengikuti kemana arah wanita itu menggandeng tangannya dan berharap dia melepaskannya segera. Dua menit setelah aku sadar tak mungkin terlepas, aku berjalan berlawanan arah dan kembali pulang diantar Windi.Pagi ini aku terlambat, mataku benar-benar ingin tertutup, kantukku tak terbendung setelah semalam tak bisa aku pejamkan mata ini untuk beristirahat sejenak. Windi, aku sempat melihat wajahnya khawatir saat aku terbangun dari tidurku di ruang kesehatan dan pandanganku terlihat bingung.
“Kamu tadi lari-lari, terus bilang pengen tidur, untung pak Wahyu gak masuk, aku anter kesini deh.” Katanya.
Aku tersenyum, tapi dia masih khawatir, aku tau dia mengkhawatirkan aku dari kejadian semalam.
Di kantin pada jam istirahat ini aku akhirnya dapat kesadaran juga setelah tidur hampir 3 jam di ruangan serba putih tadi. Dari tempatku duduk, kira-kira empat bangku dari sini, aku lihat laki-laki yang mengetuk pintu rumahku waktu itu sedang bersama teman-temannya dengan canda tawa mereka seperti biasa. Masih ada tanya, ‘mudahnya aku dilupakan?’ hah.. aku memang yang bersalah. Aku sendiri yang bersikap seolah-olah itu akhir.
Tapi, senyummu dari sini saja sudah membuat aku sadar kenapa wanita-wanita itu selalu ingin dekat dengan laki-laki seperti kamu…Laki-laki di kantin tadi, laki-laki yang dengan senyumnya membuat wanita ingin dekat itu berdiri dan bersandar pada pintu mobilnya. Seragam putih abunya membuatnya terlihat lebih berwarna bukan hanya dari senyumnya, ‘Dida!’ sapa temannya yang langsung melambaikan tangan tanda ia akan pulang mendahului Dida yang dibalas Dida dengan senyum dan lagi-lagi aku berpikir ingin memiliki senyum itu lagi.
Dida menundukkan wajah sesekali dan melirik ke arah pintu masuk sekolah, seakan menunggu seseorang keluar dari situ, dan benar saja ada yang menghampirinya. Kulihat senyumnya yang manis mengikuti kedatangan wanta itu, tapi sedikit tersirat kecewa.
Sayangnya aku melihat ekspresinya ini hanya dari kejauhan, tepatnya dari arah luar gerbang sekolah…
Esoknya masih seperti kemarin, aku masih ingin melihat Dida, sosok yang selalu senyum dihadapanku, membuatku bahagia tapi aku mengecewakannya karena suatu hal bernama ‘cemburu’. Selama aku bersama Dida, aku benar-benar merasa apa itu arti bahagia, apa itu arti bersama, tapi tidak aku bawa rasa terima atas itu karena kesan yang terlihat di mataku itu semua bukan atas dasar sayangnya. Aku yakin itu setelah melihat dia selalu tersenyum juga di hadapan wanita lain.Mobil yang akan menjemputku tiba sekitar 40 menit lagi, hah.. sudah bosan aku menantikannya. Sudah lima menit aku menunggu, ’35 menit lagi’ pikirku. Saat-saat menunggu ini terusik saat aku sadar ada yang memperhatikanku dari jauh, mata itu tak lepas memandangiku sejak tadi, seperti menunggu, tapi aku tak menghiraukannya karena malu dan tau itu Dida.
Melihatku dari jauh mungkin tak memuaskannya, akhirnya ia mulai bergerak mendekatiku. Aku benar-benar terusik, tak nyaman dan ingin sekali bergerak menjauh, tapi perasaan mencegah dan aku diam.
“Mau pulang sama aku?” sapanya, lagi-lagi dengan senyum.
“Iya” jawabku singkat.
Dida sedikit menunduk, mungkin ia sadar saat ini aku tak nyaman lagi berada di dekatnya. Saat ini rasanya mungkin seperti cermin yang kupandangi setiap sore yang ada bayangan senja di alam sebrang yang dia tampilkan itu, berambang, tidak jelas dimana tapi itu bukan disini.
Sudah sepuluh menit sejak aku menjawab ‘iya, kami tidak mengatakan satu katapun sampai akhirnya Dida membuka pembicaraan dengan bertanya,
“Masih mau nunggu? atau pulang bareng aku?” kali ini ekspresinya datar.
“Nunggu” jawabku yang masih memikirkan ego.
Kaget aku saat Dida tiba-tiba menggenggam tanganku dan membawaku yang terpaksa mengikuti langkahnya.
Di halaman belakang sekolah, dia menghentikan langkahnya, dia sedikit menundukan wajah lagi, mungkin malu atau ragu atau juga sedang memikirkan awal pembicaraan yang baik denganku. Aku yang melihat wajahnya yang menunduk dengan ekspresi wajahnya yang seperti itu, tak mau lagi menahan untuk tak bicara ‘kenapa’. Dida kembali menemukan nada bicara dan percaya dirinya untuk bicara.
“Setiap hari aku harus khawatir sama kamu, tapi aku baru tau kenapa, dan aku disini mau minta maaf, selain maaf belum ada yang bisa aku bilang lagi”
“Memang aku juga yang berlebihan”
“Jadi?”
“Aku juga minta maaf”
Ekspresi wajah Dida berubah bahagia setelah mendengar kalimat terakhir yang aku katakan.
Seketika aku berpikir, Dida tidak pernah ingin aku jauh dariku.
Tapi Dida tidak lagi menampakkan wajah khawatirnya walaupun aku pergi mulai berjalan meninggalkannya. Mungkin itu berarti dia yakin aku juga masih merasakan hal yang sama dengannya.
Istirahat hari ini terasa sangat ringan dari kemarin, aku benar-benar merasa ini istirahat yang paling istimewa walaupun aku sadar hanya beberapa menit saja luang waktu untuk sejenak bersantai ini.
Dari sini aku melihat Dida dengan ekspresi bahagianya setelah memasukkan bola ke ring. Dida tidak lagi tersenyum dengan sedikit corak wajah tak bahagia, aku yakin setelah ini Dida akan kembali pada ekspresinya saat dia bersamaku.
Tapi aku lupa, wanita yang pernah digandengnya, siapa?
Sampai Windi mengingatkan aku tentang itu dilorong sekolah saat kami berjalan menuju pulang.
Aku menghela nafas dan mengingatnya lagi…
Hah, aku tidak percaya, bahagiaku terusik lagi.
Baru beberapa menit lalu aku mendengar Windi mengingatkanku akan hal itu, aku lihat Dida tersenyum di depan wanita yang waktu itu kulihat sedang menggandeng tangannya.
Hari ini aku tersadar lagi dan pergi menjauh tanpa berani menatap Dida lagi.
Setelah hari yang membuatku bungkam lagi itu, tidak pernah ada lagi kontak mata ataupun komunikasi antara Dida dan aku. Tapi ekspresinya tidak lagi seperti gundah. Wajahnya kali ini tetap bahagia seperti setelah mendengar aku meminta maaf padanya, seolah tidak ada lagi yang perlu dicemaskannya dan aku baik-baik saja.
Aku berpikir lagi, ini bukan berarti dia bahagia karena aku memaafkanya atau karena aku meminta maaf padanya, tapi ini karena ada sesuatu yang lebih membahagiakan dari itu.
Aku takut, takut sekali, takutku belum terbayar bahkan sekalipun aku mendengar aku lulus dari ujian nasional.
Hari ini, sudah dua bulan setelah hari-hari yang mengambang itu. Sudah kuduga Dida memang tidak lagi mau aku menjadi khawatirnya. Semua khawatirnya tentangku, membatasinya untuk bebas. Aku sadari itu setelah aku tak lagi melihatnya sampai hari ini.
Aku tak tau dimana dia, apa kabarnya saat ini, apa yang sedang dia lakukan, bahkan Windi yang selalu mudah mendapat info pun masih belum tau dimana Dida.
Tapi aku yakin Dida bahagia, karena terakhir kali aku melihatnya begitu.
Dida tidak lagi di sampingku, Dida tidak tahu ada dimana, tapi aku masih ditemani bayang-bayangnya. Malam ini aku ada janji dengan Windi setelah dia mengirim pesan singkat yang isinya membuatku penasaran untuk datang ke tempat kami biasa bersantai, cafe dekat taman kota ini.
Dalam perjalananku ke cafe itu, aku melihat wanita yang digandengnya waktu itu yang sampai saat ini membuatku cemburu. Wanita yang dengan wajah menunggu, bersandar di kursi taman kota.
Sejenak aku berpikir, wanita itu ada disini, Dida pasti disini juga. Sedang berpikir seperti itu, Dida datang dan menghampirinya. Seperti sebelumnya Dida tersenyum duduk di dekatnya dengan kemudian memasang wajah sedih dan menenangkan wanita di sampingnya.
Aku tau ada masalah yang membuat Dida memasang wajah itu. Aku memang selalu tak berpikir panjang, malah semakin ingin mendekat dan mengetahui isi pembicaraan mereka, tapi kemdian aku diingatakn Windi lagi dengan pesan singkatnya yang membuat handphone ku bergetar.
Kembali aku menuju cafe di dekat taman kota ini.
Aku benar-benar malu, aku gugup, kali ini aku diluar kendali, aku ingin menangis, Windi kemudian menenangkanku setelah sebelumnya ia mengatakan,
“Dida itu punya sepupu dan wanita yang sama Dida itu pacar sepupunya”
Aku menyesal dengan ucapanku dikala rintik hujan membasahi Aku dan Dida di tengah lapangan basket hari itu, aku tau aku kalah dengan emosi yang terbungkus cemburu sampai Dida seperti mematung setelah aku melepas satu tangannya yang memegang pundakku yang kemudian berucap “Dida, kita putus” setelah itu dengan mata berkaca aku meninggalkan Dida.
Dida, aku menyesal, aku ingin hari itu kembali, hari dimana rintik hujan itu beramai-ramai menghentikan aku tuk berucap hal yang menghentikan kebersamaan kita. Sekarang aku yang berekspresi mematung menggantikan Dida di hari itu. Tapi aku yakin penyesalan ini tidak akan mengembalikan senyummu seperti saat maafku terucap atau bahkan seperti saat kita bersama.
Haha, sudah sampai dimana kita? Jika ini sandiwara, sudah sampai di episode berapakah?
Yang jelas, aku berpikir, sepertinya ini episode terakhir dari kepastian hubunganku dengan Dida.
Aku di fakultas seni, dan Dida di Fakultas Kedokteran. Aku baru tahu itu setelah dua bulan kami ada di Universitas yang sama.
Masih saja ada yang menggangguku, tentang apa kabarnya senyum Dida itu?
Apakah sudah dimiliki wanita lain?
Hari ini aku di rumah, ditinggal mama dan papa yang terbang ke Bali untuk bisnis dan berlibur.
Dua hari ini aku tidak mengisi waktu dengan kuliahku sampai Windi pun lelah mengingatkanku untuk berhati-hati dengan kehadiranku karena kuis minggu depan.
Acara televisi hari ini tidak ada yang menghibur, bahkan lawakan yang dulu hanya dengan melihat pemerannya saja sudah membuatku tertawa tidak lagi ada daya tariknya. Mataku hanya tertarik melihat acara televisi yang kupindah-pindah sampai teralihkan aku sejenak karena pintu rumah yang diketuk dengan cukup keras. Kakak memang selalu seperti itu kalau pintu rumah terkunci.
“Hai” sapa orang dibalik pintu saat aku membukakan pintu untuknya.
Kupikir kakaku yang setiap malam baru pulang berolahraga untuk membuat badannya berotot itu kala mama bertanya kenapa malam-malam, tapi ini sosok lain.
“Dida?” tanyaku heran yang kusembunyikan perasaan bahagia di kedalaman hati.
“Apa kabar?” tanyanya yang masih selalu didampingi dengan senyumnya.
“Kenapa kesini?”
“Haha, gak bisa tahan kangen lagi”
Entah apa yang ada di pikirannya, yang jelas aku tau, dia sedang berusaha menjelaskan perasaannya padaku melalu kata-kata yang dengan hati-hati dipasangkannya untuk menjadi kalimat yang baik kudengar sehingga aku tak menutup pintu lagi seperti malam itu.
“Aku boleh masuk?”
“Disini aja”
Aku takut jika aku dan Dida berpindah dari tempat saat kami memulai bicara, akan canggung untuk memulai pembicaraan lagi, terlebih lagi itu di dalam rumahku, di ruang tamu yang pastinya aku harus duduk didekatnya berhadapan atau di sampingnya.
Dida meyakinkan aku dengan senyumnya kemudian memegang tanganku, menarikku ke dalam dan duduk.
“Ganti baju, aku tunggu!” perintahnya dan aku turuti.
Aku masih mengutamakan egoisku, tak mau Dida berpikir aku berpenampilan baik hanya untuk membahagiakannya. Sepuluh menit dia menunggu. Aku menghadiahinya penampilan sederhanaku saja, tidak sesederhana dipandangannya karena wajahnya kemudian tersenyum menyambut aku hadir kembali di hadapannya tanpa mengenakan pakaian santai untuk di rumah lagi.
Aku digandengnya, jari-jariku digenggam erat jari tangannya, membuatku yakin ini Dida yang masih sayang aku.
Aku digandengnya sampai di halaman dekat rumah. Di halaman ini dulu dia pernah memintaku menjadi seseorang dengan sebutan ‘kekasih’ untuknya, “Aku gak punya bahasa yang lebih manis, tapi God never know that i love you, ah sorry, God ever know that i love you” katanya dulu.
Kujawab “yes, I never know, but in the end I ever know and I love you too”
Dan Dida mengulangi hari itu dengan kata yang lebih manis.
“Sorry, sebenernya malu, tapi, haha.. I LOVE YOU again”
Aku tak bisa menjawabnya kali ini, ucapannya terlalu manis, aku hanya tersenyum, membuka jalan kemabali menuju kebersamaan dengan Dida, dan aku yakinkan, aku tak mau lagi melepasnya hanya karena cemburu…

Si Jokomen...


Si Jokomen
Joko senang bukan kepalang ketika mendapatkan CD Super Hero dari tukang CD bajak*n terdekat, dia terus melihat-lihat cover CD itu dengan kagum, joko langsung mengeluarkan dompet dan membayar CD itu dengan kontan, dia bergegas pulang ke rumah untuk nonton CD yang telah di belinya. Setelah sampai rumah, joko langsung memutar CDnya, dia sangat senang karena ini merupakan super hero favoritnya yaitu ‘aquamen’. Tiba tiba joko kehausan di membuka minuman soda kesukaan nya, tetapi sesuatu yang aneh terjadi, ketika dia membuka tutup botol minuman sodanya itu tiba tiba botol minuman soda itu meledak ‘duaar!’ dan tubuh joko pun basah kuyup berbau soda, joko berkata dalam hati ‘dasar soda sial!’, lalu dia membersihkan badan nya di kamar mandi.
Setelah beberapa lama dia membersihkan badannya terdengar suara ledakan yang sangat keras dari luar rumahnya ‘DUAAARRRR!!!’ , joko terkejut dia dengan refleks berkata ‘gila itu botol sodanya segede apa?!’, joko berlari ke luar rumah untuk melihat apa yang terjadi, mulut joko menganga tidak percaya dengan yang dia lihat, dia melihat monster besar yang berbentuk seperti monyet raksaksa sedang menghancurkan kota, semua orang berlarian entah kemana untuk menyelamatkan diri, karena penasaran joko melihat lebih dekat, setelah beberapa meter dari rumah, aquamen datang dengan gallon ajaibnya, dia menyerang monster monyet raksaksa itu, dengan kekuatan air mineralnya, dia menggunakan jurus ‘bayangan asongan’ dan tiba tiba sosok aquamen ada dua!, terus ada 3!, wujudnya semakin banyak sehingga membingungkan si monster monyet, si monster monyet tidak mau kalah dia mengeluarkan jurus ‘topeng ajaib’, dia memakai topeng yang misterius, seketika aura di sekelilingnya berubah menjadi menyeramkan, dia menyerang aquamen dengan membabi buta sampai aquamen kalah dalam pertarungan itu, tetapi gara gara menginjak toko obat bius, si monster monyet jatuh dan tak sadarkan diri, ini kesempatan emas bagi aquamen buat menjauhkan si monster monyet ke planet mars, kota pun damai kembali. Aquamen mendekati joko lalu memberikan sebotol air mineral, joko dengan gugup mengambil botol itu, joko tidak menyangka jika aquamen itu nyata dan dia memberikan botol itu kepadanya.
“minumlah air itu sampai habis nak, kau akan mendapatkan kekuatan tetapi jangan gunakan kekuatan itu untuk kejahatan, dan jangan lupa botolnya buang ke tempat sampah” Perintah aquamen, lalu aquamen pergi meninggalkan joko.
Joko langsung meminum air itu sampai habis, dan membuang botolnya ke tampat sampah, dia merasakan kekuatan yang berada dalam dirinya, kekuatan air mineral yang menyehatkan tubuh, dia bisa terbang, dan menggunakan kekuatan air untuk berbuat kebaikan, lalu dia di juluki Jokomen.
Setelah beberapa bulan berlalu, dan kekuatan Jokomen pun bertambah, si monster monyet kembali dari planet mars, dia kembali menyerang kota, tetpi Jokomen berusaha menghentikannya, Jokomen mengeluarkan jurus andalannya, seperti jurus aqua gelas, jurus aqua botol, dan jurus aqua galon, tetapi si monster monyet menghindari semua jurus itu, Jokomen kehabisan akal, tiba tiba datanglah aquamen, dia membantu Jokomen menghadapi si monster monyet, tetapi si monster monyet kebal terhadap serangan aquamen dan Jokomen, Jokomen mempunyai ide untuk mengalahkan si monster monyet, Jokomen langsung terbang ke planet Bahana bahana dan menganbil pisang raksaksa, konon pisang itu bisa membuat orang yang memakannya menjadi berprilaku baik. Jokomen membawa pisang itu ke si monster monyet, lalu dia melemparkan pisang raksaksa itu tepat di mulut si monster monyet, si monster monyet tidak bisa melepaskan pisang raksaksa itu karena pisang merupakan makanan favoritnya, si monster monyet pun berubah menjadi baik lalu perlahan mengecil menjadi monyet normal yang lucu.
Jokomen berhasil menaklukan si monster monyet, semua penduduk kota senang karena Jokomen telah menyelamatkan kota, semua orang di kota itu senang dan merayakannya dengan minum air mineral, lalu aquamen menyiram Jokomen dengan air mineralnya sebagai hadiah keberhasilannya.
Tiba tiba Joko kaget dan terbangun karena air soda yang tumpah di badannya, joko bengong, lalu membersihkan badannya di kamar mandi, tiba tiba terdengan suara ‘duaarrr!’ di atau dia pernah mengalami ini, dia lari keluar rumah, tetapi tidak ada si monster monyet, dia malah bengong di luar rumah, lalu Roni memanggilnya.
“Jokooo!! Kooo!” suara Roni memanggil Joko
Joko menghampiri asal suara itu, yaitu garasi
“Bantu gue ko!” Roni terjebak di dalam ban mobil bekas
“Lo kenapa sih?” Tanya Joko
“Gue tadi jatoh ko” jawab Roni
Joko melihat sekeliling, dan ternyata melihat barang barang yang berantakan, yang jatuh dari atas. Lalu dia berpikir ‘ternyata ini asal dari suara tadi’.

Bukan Tukang Urut Biasa (BTUB)


Kemampuan turun-temurun yang diwariskan nenek moyang gue, bisa dibilang sangat bermanfaat untuk orang banyak. Pasalnya, sudah hampir ratusan orang merasakan goyangan tangan gue di seluruh tubuh mereka. Goyangan yang membuat otot yang semula menegang, menjadi lemes. Alias ga kaku lagi. Yah, gue sih bersyukur banget punya keahlian di bidang urut mengurut. Karena, selain mengurut ini adalah profesi, gue juga bisa memanfaatkannya untuk menolong orang banyak.
Misalnya, kejadian dua bulan lalu. Saat gue sedang keliling kampung bersama dua asisten gue, yaitu Idham dan Miftah. Kami menemukan seseorang yang sedang terjepit di antara reruntuhan kasur. Gue juga ga ngerti kenapa kasur itu bisa menimpa badan tuh orang. Sempat terpikir di benak gue, kalau orang itu sedang main petak umpet. Tapi, ngapain ngumpet di bawah kasur. Emangnya kasur rela buat main petak umpet? Lagian, fungsi kasur itu buat tidur, bukan buat main petak umpet. Ga berperikekasuran banget sih!
Melihat orang yang sedang kesulitan, kami pun refleks menolongnya. Sebelum menolong, Kami atur formasi terlebih dahulu. Hal ini memang biasa kami lakukan sebelum beroperasi. Formasinya tuh, kami baris berbanjar, lancang kanan, kemudian gue nungging ke belakang sambil goyang itik. Idham yang ada di samping kanan gue pun ga kalah menarik. Dia bergoyang kepala ala Trio Macan. Setelah pusing, minyak gosok yang dibuat dari ingus cicak, ia keluarkan dari kantongnya untuk digosokan di kepala. Sementara Miftah, di sebelah kiri gue; mengeluarkan korek dan rokok dari kantungnya. Korek untuk mengeruk jigong di giginya. Sedangkan rokok, berfungsi untuk menyumpal hidungnya yang mampet.
Gimana? Keren kan formasinya?
“Mif, lo ke sudut kiri. Idham ke kanan. Gue ke tengah.” Perintah gue lugas.
“Ngapain, bos?” Tanya Idham.
“Main karet!. Bego lo! Yah, angkat kasurnya.”
“Tau lu, Dham! Bos jadi marah tuh. Kita angkat kasurnya buat tidur di kontrakan. Iya kan, bos?” Ucap dan tanya Miftah dengan polos.
“Keplek!” Tangan gue mendarat di kepala Miftah
“Aduh, bos sakit.” Miftah mengeluh kesakitan.
“Hahaha, sukurin lu! Berarti mendingan gue. Biar kata bos marah, tapi ga sampe geplak kepala gue.”
”Ahhh, diem lu. Banyak bacot.” Tangan gue mendarat di kepala Idham.
“Aduh… Bos, kok gue kena juga.”
“Udah-udah… Bisa naik darah turun tai kalau gue terus-terusan punya anak buah kayak lu berdua. Pokonya lu angkat tuh kasur. Cepetan!” Amarah gue meledak karena kelakuan dua bocah yang lahirnya dienter pake komputer, keluarnya dari CPU.
Pertolongan pertama yang kami lakukan setelah mengangkat kasur dari diri orang tersebut adalah mengecek nadinya. Apakah masih berdenyut atau tidak. Setelah dipastikan korban masih hidup, kami langsung mengoleskan minyak angin cap kodok galau dibagian hidung guna menyadarkannya dari pingsan.
“Sadar, bos. Sadar…” Miftah berucap senang
“Iye, gua juga tau.” Ujar gue
“Tolong…! tolong…” Orang itu berteriak menjerit dengan wajah setengah takut.
“Tenang… tenang bu, kita orang baik… baaaa…” Ucapan gue terpotong karena rongrongan Ibu tersebut yang semakin menjadi.
“Tolong…! saya mau diperk*sa… tolong…!
Sial… Mimpi apa gue semalam? Niat baik nolongin, malah dikira mau memperk*sa. Hadoh… lagian, tuh ibu kaga tau diri banget sih. Mana doyan gue sama dia. Badanya aja kayak bis malem. Mukanya udah kadaluarsa. Selain itu, yang paling bikin gue ga nahan adalah bibirnya. Bibir sama spakbor motor ga beda jauh. Haha… untung ga ketuker.
Teriakan ibu ga tau diri itu semakin keras. Sehingga mengundang warga sekitar datang untuk menghakimi kami. Melihat kondisi yang sangat darurat seperti ini, mau tak mau kami harus mengeluarkan jurus, “Tauran”. Yah, sebenarnya jurus ini ga pernah digunakan, lantaran kami tahu betapa bahayanya apabila seseorang terkena bumerang dari jurus ini.
Filosofi yang terkandung dalam jurus, “Tauran” adalah “Tau” dan “Ran”. Tau berarti mengetahui. Sementara, Ran diambil dari bahasa Inggris yang artinya lari. Jadi, Tauran yang kami maksud adalah apabila mengetahui ada masa yang ingin menghakimi, lebih baik kita, “Lari…!” alias kabur. Haha
Itulah seuntai pengalaman yang kami rasakan sebagai tukang urut kampung gono-gini.
Hari ini, kami mendapatkan pesanan tugas mengurut salah satu pasien di kampung seberang. Seperti biasa, kami berangkat menggunakan si jagur motor revo biru yang udah hampir 1 tahun ga gue cuci. Gue sengaja ga mencuci si jagur, soalnya menurut mendiang kakek gue, kalau seandainya jagur dicuci, maka kemampuan mengurut yang gue miliki akan hilang. Dan kalau sudah hilang, gue harus betapa di gunung berapi selama setahun. Ga boleh makan dan ga boleh minum. Waduh, ngeri juga yaa ancemannya. Itulah mengapa si jagur ga pernah gue cuci hampir setahun. Jadi, ga heran kalau motor gue ini udah kayak motornya tukang bawang. Haha
Perjalanan setengah jam kami tempuh. Motor yang ditigalin, memang ga akan pernah bisa bohong. Padahal gue udah ngegas full lho.Tapi, tetap aja fakta berbicara lain. Kalau si jagur emang udah angkat tangan menampung tiga tukang urut yang badannya mirip kuproy yang ga berperikemotoran.
“Udah sampe nih…” Gumam gue sembari turun dari motor.
“Bener ga nih, bos alamatnya?” Tanya Idham…
“Ya, benerlah. Mana mungkin salah…”
“Udah bos, kita langsung masuk aja.” Ujar Miftah.
“Ya udah, lo panggil dah!”
“Assalammu’alaikum… assalammu’alaikum.” Salam Miftah.
“Wa’alaikumussalam.”
Wow… Luar biasa bukan kepalang. Yang keluar cewek cantik, bro. Gue perhatiin dari ujung rambut sampe ujung kaki, kaga ada cacatnya sama sekali. Waduh, kalau yang ini minta urut sama agen gue, ga usah dibayar; gue rela dah.
“Permisi, mba. Kami dari agen Pijet Sabeni…”
“Oh, iya iya silahkan masuk. Bang, kalau pijet bagian sini bisa, kan?”. Sembari memegang pundaknya yang tak tertutup sehelai benang pun. Karena tuh cewek pas keluar pake baju yang kaga ada tangannya.
“Oh, bisa mba… bisa banget.” kami menjawab serentak, seolah merasa senang.
“Kalau bagian yang ini, bang?” Sambil menunjuk ke arah pahanya yang mulus.
“Wah… apalagi yang itu, mba. Bisa banget.” Jawab Idham.
“Iye, mba. Pokoknya kita mah tukang pijet multi talent. Bagian apa aja bisa kita kerjain.” Serobot gue menambahkan…
“Oh gitu yaa… Ya udah, tunggu sebentar ya, bang!”
“Kita main pijet-pijetan dimana, mba?” Tanya Miftah.
“Di sini aja…” sambil menunjuk teras rumah dan ia beranjak ke dalam.
“Oke siap, mba.” Idham langsung gelar tiker yang dibawanya di depan teras.
“Eh, tapi apa ga malu ngurut cewek di teras rumah kayak gini? Kan banyak orang yang lewat, bro”. Miftah bertanya sembari melihat situasi.
“Ahh bodo amat! Yang penting hepi. Hahaha, asik. Pasien kita kali ini cantik bin demplon.” Idham kesenangan.
“Hm.. ya udah… Bos, kita berdua aja ya yang ngurut?” Pinta Miftah memelas.
“Aelah… Giliran yang begini aja, pada rebutan lu. Lagian emang lo udah lulus belajar ngurut sama gue? Hah? Belum, kan?” Gue menodong pertanyaan.
“Belum sih, bos. Tapi, kan kita udah 25 tahun jadi asisten bos. Masa kita ga pernah kebagian ngurut…” Protes Idham ke gue.
“Woy… umur lu aja baru 20 tahun!”
“Oh iya, bos lupa… haha”.
“Ya udah, kali ini gue ijinin lu berdua buat ngurut.”
“Hahaha, makasih, bos…” Mereka berujar serentak.
“Iye… Dasar mata keranjang lu!”
Beberapa saat kemudian, cewek cantik tersebut keluar dengan membawa seorang kakek tua lagi kerempeng.
“Bang, tolong pijitin kakek saya, ya. Kasian dia baru dateng dari kampung.”
Wajah mereka melongo kaget. Dahi mengerut, perasaan heran pun menyertai. Perlahan, bibir mereka terbuka seolah ragu berucap.
“bbbb-booss… kita ga jadi ngurut deh. Kepala kita mendadak pusing.”
“Hahaha… Makan tuh, kakek-kakek lumutan. Sono lu urut!” Tawa gue terbahak-bahak
“Yaelah, bos. Kita kan ga bisa ngurut.”
“Bodo amat, lu urus sendiri tuh kakek-kakek. Gue mau pulang dulu.” Gue langsung menuju motor dan pergi meninggalkan mereka.
Sementara, mereka tetap mengurut kakek tua tersebut tanpa bayaran. Hahaha pelajaran yang dapat diambil dari kejadian ini adalah, tukang urut kudu profesional. Siapa pun pasiennya, tetap harus dilayani dengan pelayanan prima. Emang enak lo ngurut kakek tua kaga dibayar pula. Sukurin..